Tuesday, January 28, 2014

Cinta Indah Tak Harus Mewah

foto by mbah google


Apa yang kebayang dari kita semua tentang foto diatas??


Yah       ... CINTA INDAH TAK HARUS MEWAH ...

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...  Mungkin banyak sebagian dari kita berpikir untuk merasakan keindahan hidup harus memiliki harta yang berlimpah limpah dengan pasangan yang sangat rupawan. Nggak ada yang bilang salah sih. Tapi kan nggak sepenuhnya harus begitu.

Saat kita masih muda dan masih memiliki banyak kesempatan untuk mewujudkannya, sangat disaarankan untuk memiliki standard kehidupan yang baik dari sisi materi dan pasangan hidup.

Tapi untuk sebagian dari kita yang memilih untuk hidup dengan sederhana bisa juga kok menikmati hidup ini seutuhnya dan seindah - indahnya. Contohnya foto di atas. Satu kata yang terbayang hanya.... apa itu?   Yah...  So sweet!  Beneran lho, serius.

Mengapa kita hanya harus merasakan manisnya hubungan waktu kita masih pacaran (eitss.. lebih baik nggak ya!!) atau pengantin baru. Mengapa kita hanya bisa menikmati hidup ketika pasangan kita masih muda dan kinyis – kinyis ( hehe cantik maksudnya..). 

Kita lihat lagi seorang pria tua dari foto di atas, dia dapat merasakan cinta dan keharmonisan dengan istrinya ketika usia mereka sudah memasuki masa senja. dan nggak harus tuh nongkrongnya di kafe atau restoran mahal... ya kan! Nggak juga mesti lihat Film romantis di Bioskop Ternama. Yang penting itu satu...  CINTA!  itu baru namanya suami istri!

Saat detik ini, semoga makin banyak dari kita yang mampu mencintai tanpa syarat dan tanpa masa kadaluarsa seperti foto di atas.

Dimana pria tua ini bisa memberikan moment yang amat sangat indah bagi orang yang dicintainya... dalam kondisi apapun ..

Subhanallah ...

Karena hangatnya cinta tidak hanya hadir di meja makan yang penuh makanan lezat untuk disyukuri, atau depan pintu rumah cantik berhalaman penuh bunga.

Kehangatan cinta ada di mana-mana, kadang di tempat yang tidak kita sadari, bahkan di tempat di mana kesabaran kita di uji, dimana kekuatan cinta itu sendiri di uji dan dimana saat ketabahan menghadapi cobaan Tuhan di uji.


Mungkin di sana lah justru cinta itu bisa lebih hangat, lebih tangguh, dan lebih everlasting ...
 

Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...

"strowberry fruit"

Monday, January 27, 2014

Hati - hati dengan Amarahmu, Duhai Ibu

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Sore itu aku baru pulang dari bekerja. Badan dan pikiran yang lelah karena persoalan menumpuk di tempat kerja, membuat kondisi emosiku agak labil. Sampai di rumah aku berharap tak mendapati hal yang membuat emosiku makin naik. Memiliki tiga anak yang sangat aktif sering kali membuat emosiku naik turun.

Keinginanku untuk mendapat ketenangan sejenak di rumah tak terkabul. Sore itu sesampai di rumah, ketiga anakku belum mandi dan rumah berantakan. Meski memiliki khadimat, tapi khadimatku masih terlalu muda, sehingga banyak pekerjaan yang tak tertangani dengan baik olehnya.

Sulungku yang berusia 6 tahun asyik dengan game. Putri keduaku dan si bungsu asyik bermain, berlari ke sana kemari. Emosiku mulai kembali naik.

”Ummi, Haris dari tadi disuruh mandi nggak mau...” lapor khadimatku.

Haris masih asyik bermain game.

“Haris, mandi…” kataku berusaha lembut.

”Nggak mau ah!”

”Haris, mandi sama Mbak sekarang...” suaraku mulai keras.

Haris tak bergeming.

Rasa lelah, pikiran yang masih penuh, ditambah khadimat yang tak becus dan si Sulung yang tak mau menuruti perintahku, makin menambah emosi di dada.

”Haris, mandi sekarang juga!” kali ini aku benar-benar tak bisa mengontrol ucapanku. Kurasa suaraku begitu keras.

Haris tampak kaget. Tapi hanya sejenak. Kemudian dari mulut mungilnya kudengar kata... ”Entar, Bego...”

Hooh, rasanya emosiku sudah tak di dada lagi, tapi sudah naik hingga ubun-ubun. Dari mana dia mendapat perkataan itu? Bagaimana mungkin Haris-ku bisa berkata seperti itu pada ibunya...?

Kupegang kedua bahunya, masih dengan amarah di dada. ”Bicara apa kamu? Dari mana dapat omongan itu? Dengar ya, UMMI NGGAK IKHLAS kamu bicara seperti itu. Ummi nggak ikhlas! Sekarang juga kamu minta maaf!”

Rasanya lisanku sudah tak terkontrol. Kulihat Haris tampak diam dan takut.

”Ayo, minta maaf sama Ummi!”

”Ma-af, Mi...” dengan terbata Haris berucap.

”Ya sudah, Ummi maafkan. Sekarang kamu mandi sama Mbak!” kataku. Ucapan ”Ummi maafkan” sepertinya hanya sekadar saja keluar dari mulutku. Amarah dan kecewa anakku mengucapkan kalimat ”Entar, Bego...” masih menggumpal di dadaku.

***

Keesokan harinya, amarahku sudah terkikis. Sore hari aku mengecek pelajaran Haris. aku ingat esok hari Haris ada tugas mengulang mengulang hafalan.

”Ah, surat-surat yang mesti diulang hampir semua sudah Haris hafal. Insya Allah, Haris bisa,” kataku yakin.

Setelah itu aku membantu Haris untuk mengulang hafalan.

”Ayo, baca bismillah dulu, Ris...”

”Bis...” suara Haris terputus.

”Lho kok, bis... bis-millah...”

”Bis...” lagi-lagi suara Haris terputus.

”Haris... jangan bercanda. Ayat Al Quran jangan dipermainkan. Ayo ulang lagi, bismillah...”

”Bis...”

”Haris!” emosiku mulai naik.

”Tapi, Mi... Haris nggak bisa...”

”Masak bismillah saja tidak bisa, bis-mi-Allah...”

Haris mencoba mengulang, tapi lagi-lagi terhenti di kata ”bis”. Aku benar-benar tak habis pikir.

”Haris! Ummi serius ini. Kamu jangan bercanda, mempermainkan ayat Al Quran! Coba, A-L-L-A-H...”

”A.... A... Ummi haris nggak bisa...”

”A-L-L-A-H.... ulang lagi... A-L-L-A-H… BISMILLAH…”

“A…. A…”

Aku mulai panik. Kuamati wajah Haris. Dia tak terlihat bercanda atau mempermainkanku.

“Istighfar dulu, Ris, As-tag-fi-ru-llah…”

”Astagfiru...” lagi-lagi suara Haris terputus.

Aku semakin panik. Ada apa dengan anakku? Padahal dia sudah hafal setengah juz 30. bagaimana mungkin menyebut ”bismillah”, ”astagfirullah,” bahkan ”Allah” saja tak bisa...?

Aku berusaha menenangkan diri. ”Yuk, bareng Ummi... kita istighfar...”

”Astagfirullah...”

Namun lagi-lagi, Haris tak dapat menyelesaikan kalimat tersebut.

Aku benar-benar tak habis pikir. Beberapa kali kuminta Haris mengulang kata Allah, Allah, Allah... tak juga bisa.

Tiba-tiba runtunan kejadian kemarin berkelebat di otakku. ”Astagfirullah....” kuucap berulang kali.... Kalimat ”ummi tidak ikhlas” terngiang-ngiang. Inikah yang menyebabkan Haris tak dapat menyebut kata Allah? Tapi bagaimana mungkin? Haris masih kecil, baru 6 tahun...

Namun, tak ada yang tak mungkin bagi Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya. Langsung kupeluk Haris, air mata berbulir jatuh.

”Maafkan Ummi, ya, Ris... maafkan, Ummi. Ummi juga memaafkan semua kekhilafan Haris. Ummi maafkan kesalahan Haris...” Kupeluk Haris makin erat. Haris tampak tak mengerti. Air mataku menderas. ”Maafkan Ummi... dan Ummi maafkan Haris...”

Setelah beberapa saat menenangkan diri, aku minta Haris untuk sama-sama membaca istighfar kembali. Dan... subhanallah... tanpa kesulitan Haris mengucap dengan lancar. Dan kemudian kalimat bismillah, dan kemudian surat-surat Al Quran yang hendak ia ulang, semua lancar dibaca.

Subhanallah, Allahu Akbar... betapa kecil kurasa diriku saat itu. Teringat aku kisah Al Qomah pada masa Rasulullah, yang mulutnya terkunci tak dapat mengucap ”Laailahailallah” saat sakaratul maut, karena sang Ibu tak ikhlas padanya.

Aku bersimpuh.... Ampuni aku, ya Allah....

Wallahu a'lam bishshawab, ..
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa atuubu Ilaik ....



" Strowberry Fruit "

Aku Tidak Mau Jadi Pahlawan

“IBU, AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI JALAN.”

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.

Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.

Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab:..... "Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main".

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab: “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK?

Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23.

Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.

Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.

Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira.

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI & APA ALASANNYA.

Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU!

Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi.

Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.

Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba2 menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”

“IBU, …..AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, …. AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI JALAN.”

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan.

Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, MENGAPA ANAK2 KITA TIDAK BOLEH MENJADI SEORANG BIASA YANG BERHATI BAIK & JUJUR…


>>> Semoga menginspirasi menyemangati diri kita untuk menerima semua kelebihan dan kekurangan anak, Karena sungguh anak - anak kita adalah harta yang tak ternilai 

"strowberry fruit"

Tuesday, September 11, 2012

Air Mata Cinta

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sunguh kasihan, sungguh kasihan”. Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang diantara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga”. (HR. Muslim)

Hadist Rasulullah SAW diatas menekankan kepada kita tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Disaat durhaka dan melawan kepada orang tua seakan sudah menjadi kewajaran, penting sekali bagi kita untuk kembali memuhasabah diri kita. Apakah kita sudah memuliakan orang tua kita atau kita termasuk orang yang disebutkan Rasulullah dalam Hadist diatas?

Disalah satu pengadilan Arab Saudi beberapa waktu yang lalu. Terjadi drama mengharukan yang mungkin dapat menginspirasi kita semua.

Hizan Al-Fuhaidi berdiri didepan hakim dengan air mata yang bercucuran hingga membasahi  janggutnya, Kenapa? Karena ia kalah terhadap perseteruannya dengan saudara kandungnya.

Tentang apakah perseteruan dengan saudaranya? Tentang tanahkah? Atau warisan yang mereka saling perebutkan?

Bukan karena itu semua, ia kalah dari saudaranya terkait pemeliharaan ibunya yang sudah renta & bahkan hanya memakai sebuah cincin timah dijarinya yang telah keriput.

Seumur hidupnya, beliau tinggal dengan Hizan yang selama ini menjaganya. Tatkala beliau telah manula, datanglah adiknya yang tinggal dikota lain, untuk menjemput ibunya untuk tinggal bersamanya, dengan alasan fasilitas kesehatan dan lain-lain di kota jauh lebih lengkap daripada di desa. Namun Hizan menolak dengan alasan, selama ini ia mampu untuk menjaga ibunya. Perseteruan  ini akhirnya berlanjut sampai ke pengadilan.
Sidang demi sidang tlah dilalui, hingga sang hakim pun meminta agar sang ibu dihadirkan di majelis.

Kedua bersaudara ini membopong ibunya yang sudah tua renta, yang beratnya sudah tak sampai 40kg.

Sang Hakim bertanya kepadanya, siapa yang lebih berhak tinggal bersamanya. Sang Ibu memahami pertanyaan yang diajukan Sang Hakim, ia pun menjawab, sambil menunjuk ke Hizan, “Ini mata kananku” kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata, “Ini mata kiriku”.

Sang Hakim berpikir sejenak kemudian memutuskan hak kepada adik Hizan, berdasar kemaslahatan-kemaslahatan bagi si Ibu.

Betapa mulia air mata yang dikucurkan oleh Hizan, air mata penyesalan karena tidak dapat memelihara ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjutnya. Dan, betapa terhormat dan agungnya sang Ibu yang diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti ini.

Semoga kita bida mengambil pelajaran. Allahua’lam Bishshawab. [Oase]

Selamat Datang Senja


Selamat datang senja
Di laman yang tlah menantimu
Katamu baru kan menghiasnya
Dalam setiap gores
Dalam setiap derap jemari menuai kata

Disini..
diatap mu..
atap yang tak sama sekali beda
atap yang membuatmu tuk trus belajar

Disini..
dikanvas mu..
kanvas yang sama
kanvas yang membuatmu tuk trus meraba
dari setiap hadirnya rasa
dan menggoreskannya
kanvas yang membawa mengenal maya

senja..
selamat datang..